Tentang Film

Film sebagai produk budaya membawa makna tertentu bagi banyak pihak, tidak terkecuali dalam pergulatan akan tanah air dan impian akan suatu negeri (baca: entitas kebangsaan dan kebudayaan). Karena sinema tidak hadir begitu saja dalam ‘ruang hampa’, maka berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya memiliki andilnya dalam membentuk pemaknaan budaya (cultural signifying) bagi lingkungan tempat sinema tersebut hadir. Dari sinilah identitas kemudian menjadi salah satu konsep yang terus menggeliat mencari bentuk dan maknanya.

Persoalan identitas adalah permasalahan bagi kita semua. Ya, semua bangsa, semua etnis, seluruh kelompok sosial, di mana saja. Entah di tanah asalnya—jika memang masih ada yang disebut tanah asal itu—atau bisa juga di tanah perantauan, bahkan di tanah eksilnya. Persoalan identitas bisa mengemuka karena perihal perbatasan, hegemoni budaya, bahkan persinggungan antara yang global dengan yang lokal, antara ‘aku’ dengan liyan (the others). Semua bergejolak dalam satu pusaran: cita-cita akan sebuah negeri (dream of a nation).

Gejolak tersebut hadir di berbagai belahan Asia. Salah satu yang paling kentara adalah di Palestina. Dalam salah satu artikel tentang sinema Palestina, The Guardian pernah menurunkan laporan berjudul, “We have no film industry because we have no country” (12 April 2006). Begitu pentingnya identitas akan negara yang berdaulat ternyata mempengaruhi hingga ke ranah sinema karya anak bangsa dari suatu negeri. Namun, dalam kemelut konflik berkepanjangan di Palestina, sinema ternyata tetap menunjukkan perannya sebagai produk budaya yang merepresentasikan situasi tertentu, terutama yang mengerucut pada impian akan sebuah negeri. Tanah air menjadi konsep yang mendapatkan makna lebih dalam bagi rakyat Palestina.


Bagaimana dengan di belahan bumi lainnya? Ternyata gejolak itu juga muncul di sana-sini meski dalam konteks yang berbeda-beda tentunya. Pergulatan akan persoalan identitas ini juga terjadi di Sri Langka, Kurdistan, Semenanjung Korea, termasuk juga di Indonesia. Bagaimana sinema merepresentasikan hal ini? Bagaimana pula dialektika yang terjalin antara persoalan identitas dengan konsep nasionalisme yang berkembang kini? Sejumlah pertanyaan ini akan menjadi lontaran awal yang mengundang diskusi lebih jauh dalam seminar kali ini.

Seminar ini merupakan salah satu kegiatan Public Lecture dalam rangkaian The 4th Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) pada 4-8 Agustus 2009. Festival film Asia yang tahun ini memasuki penyelenggaraan keempat kalinya ini akan mengangkat tema Homeland atau tanah air. Di samping mengusung tema tertentu, JAFF juga memiliki kekhasan sebagai sebuah festival film yang tidak hanya menggelar kegiatan pemutaran film (screening), tetapi juga mengadakan program Public Lecture. Yakni, suatu kesempatan berdiskusi dan saling menawarkan gagasan pemikiran terkait tema tertentu melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti seminar dan workshop.

Seminar ini merupakan kelanjutan bentuk komitmen JAFF dalam mengundang keterbukaan pemikiran dan gagasan dari berbagai kalangan. Terutama guna lebih mewarnai dan memberikan tawaran pemahaman terhadap berbagai persoalan politik, sosial, dan budaya khususnya di kawasan Asia. **

0 komentar:

Posting Komentar