UNDANG UNDANG PERFILMAN

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman;

b. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;

c. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;

d. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perfilman;

Mengingat:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 31, dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

2. Perfilman adalah segala hal yang berhubungan dengan film.

3. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial.

5. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial.

6. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang perfilman.

7. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

8. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan film.

9. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.

10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 2

Perfilman berasaskan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. bhinneka tunggal ika;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kepastian hukum;
g. kebersamaan;
h. kemitraan; dan
i. kebajikan.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3

Perfilman bertujuan:
a. terbinanya akhlak mulia;
b. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;
c. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;
d. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;
e. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;
f. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;
g. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
h. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.

Bagian Ketiga
Fungsi

Pasal 4

Perfilman mempunyai fungsi:
a. budaya;
b. pendidikan;
c. hiburan;
d. informasi;
e. pendorong karya kreatif; dan
f. ekonomi.

BAB III
KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 7

(1) Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas ) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; atau
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

(2) Dalam hal film untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipertunjukkan melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat.

(3) Film untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilarang dipertunjukkan kepada khalayak umum di lapangan terbuka atau gedung nonbioskop, kecuali kegiatan apresiasi dan pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 8

(1) Kegiatan perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. apresiasi film;dan
f. pengarsipan film.

(2) Usaha perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. penjualan film dan/atau penyewaan film;
f. pengarsipan film;
g. ekspor film; dan
h. impor film.

(3) Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

Pasal 9

(1) Pelaku kegiatan perfilman meliputi:
a. pelaku kegiatan pembuatan film;
b. pelaku kegiatan jasa teknik film;
c. pelaku kegiatan pengedaran film;
d. pelaku kegiatan pertunjukan film;
e. pelaku kegiatan apresiasi film;dan
f. pelaku kegiatan pengarsipan film.

(2) Pelaku usaha perfilman meliputi:
a. pelaku usaha pembuatan film;
b. pelaku usaha jasa teknik fllm;
c. pelaku usaha pengedaran film;
d. pelaku usaha pertunjukan film;
e. pelaku usaha penjualan film dan/atau penyewaan film;
f. pelaku usaha pengarsipan film;
g. pelaku usaha ekspor film; dan
h. pelaku usaha impor film.

Pasal 10

(1) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan film Indonesia, kecuali pelaku usaha impor film.

(2) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib mengutamakan film Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 11

(1) Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku usaha pembuatan film yang melakukan pengedaran film dan ekspor film untuk film produksi sendiri.

Pasal 12

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 13

Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g atau huruf h dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 14

(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf f wajib melakukan pendaftaran usahanya kepada Menteri.

(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha, kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh pelaku usaha perseorangan.

(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri untuk setiap jenis usaha:
a. usaha pengedaran film;
b. usaha ekspor film; dan/atau
c. usaha impor film.

(4) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap jenis usaha:
a. usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau
b. usaha pertunjukan film.

(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak termasuk izin usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika.

(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.

(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha perfilman yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 15

Kerja sama antarpelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis.

Bagian Kedua
Pembuatan Film

Pasal 16

(1) Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pembuatan film atau pelaku usaha pembuatan film.

(2) Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Pasal 17

(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja.

(3) Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film yang tercatat.

(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.

(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4), pemberitahuannya dinyatakan batal.

Pasal 18

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog, digital, atau teknologi tertentu dan direkam pada:
a. pita seluloid;
b. pita video;
c. cakram optik; atau
d. bahan lainnya.

(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat melalui proses kimia, elektronik, atau proses lainnya.

Pasal 19

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk film cerita atau film noncerita.

(2) Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk berita dan materi siaran langsung yang disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi.

Pasal 20

(1) Pembuatan film wajib mengutamakan insan perfilman Indonesia secara optimal.

(2) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penulis skenario film;
b. sutradara film;
c. artis film;
d. juru kamera film;
e. penata cahaya film;
f. penata suara film;
g. penyunting suara film;
h. penata laku film;
i. penata musik film;
j. penata artistik film;
k. penyunting gambar film;
l. produser film; dan/atau
m. perancang animasi.

(3) Insan perfilman selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

(4) Insan perfiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mendapat:
a. perlindungan hukum;
b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko;
c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja; dan
d. jaminan sosial.

(5) Perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur harus memenuhi hak-hak anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Dalam pembuatan film dapat dilakukan pembuatan iklan film.

(2) Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan isi film.

Pasal 22

(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.

(2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.

Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film

Pasal 23

(1) Jasa teknik film meliputi:
a. studio pengambilan gambar film;
b. sarana pengambilan gambar film;
c. laboratorium pengolahan film;
d. sarana penyuntingan film;
e. sarana pengisian suara film;
f. sarana pemberian teks film; dan/atau
g. sarana pencetakan/penggandaan film.

(2) Jasa teknik film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

(1) Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan jasa teknik film atau pelaku usaha jasa teknik film.

(2) Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Bagian Keempat
Pengedaran Film

Pasal 25

(1) Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan pengedaran film atau pelaku usaha pengedaran film.

(2) Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.

Pasal 26

(1) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk memperoleh film.

(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk mendapatkan kopi-jadi film berdasarkan kriteria urutan prioritas yang jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pengedaran film terhadap pelaku usaha pertunjukan film.

Pasal 27

(1) Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film untuk mempertunjukkan film.

(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk mendapatkan kesempatan jam pertunjukan berdasarkan kriteria urutan prioritas yang jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pertunjukan film terhadap pelaku usaha pengedaran film.

Pasal 28

(1) Menteri menetapkan tata edar film untuk menjamin perlakuan yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27.

(2) Tata edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketentuan tentang pokok-pokok hak dan kewajiban para pihak yang harus diatur di dalam perjanjian kerjasama antara para pihak;
b. pengawasan ketaatan atas perjanjian kerja sama; dan
c. sanksi atas pelanggaran kerjasama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian kelima
Pertunjukan Film

Pasal 29

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pertunjukan film atau pelaku usaha pertunjukan film.

(2) Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Pasal 30

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:
a. layar lebar;
b. penyiaran televisi; atau
c. jaringan teknologi informatika.

(2) Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pertunjukan film:
a. di bioskop;
b. di gedung pertunjukan nonbioskop; atau
c. di lapangan terbuka.

(3) Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 31

Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat dilakukan dengan sistem proyeksi atau nonproyeksi terhadap semua hasil pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 32

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.

Pasal 33

(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.

(2) Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Penjualan Film dan Penyewaan Film

Pasal 35

(1) Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat dilakukan oleh pelaku usaha penjualan film dan/atau pelaku usaha penyewaan film berbentuk badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

(2) Penjualan film dan/atau penyewaan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Apresiasi Film

Pasal 36

(1) Apresiasi film dilakukan oleh pelaku kegiatan apresiasi film.

(2) Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 37

(1) Apresiasi film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. festival film;
b. seminar, diskusi, dan lokakarya; atau
c. kritik dan resensi film.

(2) Apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah dan pemerintah daerah.

Bagian Kedelapan
Pengarsipan Film

Pasal 38

(1) Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan film atau pelaku usaha pengarsipan film.

(2) Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membentuk pusat pengarsipan film Indonesia.

(4) Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

(5) Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 39

(1) Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film dipertunjukkan.

(2) Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip.

(3) Pusat pengarsipan film Indonesia secara aktif melakukan perolehan kopi-jadi film dokumenter yang memiliki nilai sejarah dan budaya bangsa.

(4) Penyimpanan arsip film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesembilan
Ekspor Film dan Impor Film

Pasal 40

(1) Ekspor film dilakukan oleh pelaku usaha ekspor film.

(2) Impor film dilakukan oleh pelaku usaha impor film.

(3) Pelaku usaha ekspor film dan impor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 41

(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
(2) Pemerintah wajib membatasi film impor dengan menjaga proporsi antara film impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi budaya asing.

Pasal 42

(1) Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah untuk kepentingannya sendiri.

(2) Film yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan pemberitahuan kepada Menteri.

Pasal 43

Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 45

Masyarakat berhak:
a. memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
b. memilih dan menikmati film yang bermutu;
c. menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman;
d. memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film; dan
e. mengembangkan perfilman.

Pasal 46

Masyarakat berkewajiban:
a. membantu terciptanya suasana aman, damai, tertib, bersih, dan berperilaku santun dalam pembuatan film dan pertunjukan film;
b. membantu terpeliharanya sarana dan prasarana perfilman; dan
c. mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia penonton film.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Insan Perfilman

Pasal 47

Setiap insan perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja;
c. mendapatkan jaminan sosial;
d. mendapatkan perlindungan hukum;
e. menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman;
f. membentuk organisasi profesi yang memiliki kode etik;
g. mendapatkan asuransi dalam kegiatan perfilman yang berisiko;
h. menerima pendapatan yang sesuai dengan standar kompetensi; dan
i. mendapatkan honorarium dan/atau royalti sesuai dengan perjanjian.

Pasal 48

Setiap insan perfilman berkewajiban:
a. memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;
b. melaksanakan pekerjaan secara profesional;
c. melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
d. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pelaku Kegiatan Perfilman dan Pelaku Usaha Perfilman

Pasal 49

Setiap pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan kesempatan yang sama untuk menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
c. mendapatkan perlindungan hukum;
d. membentuk organisasi dan/atau asosiasi kegiatan atau usaha yang memiliki kode etik; dan
e. mendapatkan dukungan dan fasilitas dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 50

(1) Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan perfilman.

(2) Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi dan memiliki sertifikat usaha dalam bidang perfilman;
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam usaha perfilman; dan
c. membuat dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra kerja yang dibuat secara tertulis.

BAB V
KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 51

Pemerintah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
c. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film; dan
d. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

Pasal 52

Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari badan perfilman Indonesia.

Pasal 53

Pemerintah berwenang memberikan keringanan pajak dan bea masuk tertentu untuk perfilman.

Pasal 54

Pemerintah daerah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film
c. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; dan
d. memfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.

Pasal 55

(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional;
b. menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana perfilman daerah; dan
c. menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan perfilman.

(2) Dalam menetapkan kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu pada kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.

Pasal 56

Pemerintah daerah berwenang untuk memberikan keringanan pajak daerah dan retribusi daerah tertentu untuk perfilman.

BAB VI
SENSOR FILM

Pasal 57

(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

(2) Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:
a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;
b. penentuan kelayakan film untuk diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
c. penentuan penggolongan usia penonton film.

(3) Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.

Pasal 58

(1) Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan independen.

(2) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

(3) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

(4) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi.

Pasal 59

Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dikeluarkan oleh lembaga sensor film.

Pasal 60

(1) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

(2) Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.

(3) Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

(4) Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.

(5) Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Pasal 61

(1) Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film.

(2) Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.

(3) Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu.

Pasal 62

Lembaga sensor film dibantu oleh:
a. sekretariat; dan
b. tenaga sensor yang memiliki kompetensi di bidang penyensoran.

Pasal 63

(1) Menteri mengajukan kepada Presiden calon anggota lembaga sensor film yang telah lulus melalui seleksi.

(2) Seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari pemangku kepentingan perfilman.

(4) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memilih calon anggota lembaga sensor film bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.

(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Pasal 64

(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas) orang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur Pemerintah.

(2) Anggota lembaga sensor film memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(3) Anggota lembaga sensor film diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 65

(1) Lembaga sensor film dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(2) Lembaga sensor film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan terhadap film yang disensor.

(3) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

(4) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan, keanggotaan, pedoman dan kriteria, serta tenaga sensor dan sekretariat lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 67

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan perfilman.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. apresiasi dan promosi film;
b. penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan perfilman;
c. pengembangan ilmu dan teknologi perfilman;
d. pengarsipan film;
e. kine klub;
f. museum perfilman;
g. memberikan penghargaan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. memberikan masukan perfilman; dan
j. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan atau kelompok.

Pasal 68

(1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dibentuk badan perfilman Indonesia.

(2) Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah.

(3) Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.

(4) Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara.

(5) Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan oleh Presiden.

Pasal 69

Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 bertugas untuk:
a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri;
b. mengikuti festival film di luar negeri;
c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri;
d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing;
e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;
f. melakukan penelitian dan pengembangan perfilman;
g. memberikan penghargaan; dan
h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.

Pasal 70

(1) Sumber pembiayaan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-anggaran pendapatan dan belanja daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

BAB VIII
PENGHARGAAN

Pasal 71

(1) Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional dan/atau tingkat internasional, wajib diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

(1) Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk tanda kehormatan, pemberian beasiswa, asuransi, pekerjaan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.

(4) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI

Pasal 73

Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kompetensi insan perfilman.

Pasal 74

(1) Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi.

(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.

(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi.

(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
PENDANAAN

Pasal 75

Pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, pelaku kegiatan, pelaku usaha, dan masyarakat.

Pasal 76

Pengelolaan dana perfilman dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Pasal 77

Sumber pendanaan untuk perfilman dapat diperoleh dari:
a. pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan belanja daerah;
b. masyarakat melalui berbagai kegiatan;
c. kerja sama yang saling menguntungkan;
d. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan/atau
e. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 78

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 79

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan
d. pembubaran/pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 81

(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(3) Penanganan perkara terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 82

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, ancaman pidana denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pidana dijatuhkan kepada
a. korporasi; dan/atau
b. pengurus korporasi;

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. pencabutan izin usaha.

Pasal 83

Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh:
a. pengurus yang memiliki kedudukan berwenang mengambil keputusan atas nama korporasi;
b. orang yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum; dan/atau
c. orang yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan korporasi tersebut.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 84

Pada saat Undang-Undang ini berlaku anggota lembaga sensor film yang telah ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai ditetapkan anggota lembaga sensor film sesuai dengan Undang-Undang ini.

Pasal 85

Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
b. Pelaku usaha pembuatan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
c. Insan perfilman harus memiliki kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 86

Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) harus sudah terbentuk paling lama satu tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 87

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

b. badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dan peraturan pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuk atau diubahnya badan tersebut oleh Pemerintah.

Pasal 88

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan dalam waktu paling lama satu tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 89

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 90

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…

RANCANGAN PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG PERFILMAN

I. UMUM

Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan, antara lain dalam bidang perfilman. Sejalan dengan bergesernya posisi film dari rumpun politik ke rumpun kebudayaan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lahirlah gagasan tentang perlunya paradigma baru.

Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian film tidak bebas nilai karena memiliki seuntai gagasan vital dan pesan yang dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang yang terorganisasi. Itulah sebabnya, film merupakan pranata sosial (social institution) yang memiliki kepribadian, visi dan misi yang akan menentukan mutu dan kelayakannya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan dedikasi orang-orang yang bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan sumber daya lainnya.

Film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukkan dengan atau tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi massa yang membawa pesan yang berisi gagasan vital kepada publik (khalayak) dengan daya pengaruh yang besar. Itulah sebabnya film mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Film juga dapat berfungsi ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Segala hal yang berhubungan dengan film dinamakan perfilman yang mencakup kegiatan yang bersifat nonkomersial dan usaha yang bersifat komersial. Yang bersifat nonkomersial dilaksanakan oleh pelaku kegiatan dan yang bersifat komersial dilakukan oleh pelaku usaha. Semua itu melibatkan insan perfilman, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan.

Film dibuat di dalam negeri dan dapat diimpor dari luar negeri dengan segala pengaruhnya. Film yang dibuat di dalam negeri dan film impor dari luar negeri yang beredar dan dipertunjukkan di Indonesia ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membina persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan harkat dan martabat bangsa, mengembangkan dan melestarikan nilai budaya bangsa, dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Film Indonesia yang diekspor terutama dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya bangsa Indonesia kepada dunia internasional. Itulah sebabnya film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalagunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi, penistaan, pelecehan dan/atau penodaan nilai-nilai agama atau karena pengaruh negatif budaya asing.

Penyensoran dilaksanakan dengan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan deplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor.

Selain masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negatif film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Peran serta masyarakat dilembagakan dalam badan perfilman Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah. Badan tersebut mempunyai tugas terutama meningkatkan apresiasi dan promosi perfilman.
Mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang dalam memajukan dan melindungi perfilman Indonesia. Presiden dapat melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada Menteri yang membidangi urusan kebudayaan.

Dengan latar belakang pemikiran tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut dan diganti.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bahwa perfilman harus menempatkan Tuhan sebagai hal yang suci dan agung.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa perfilman harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa perfilman diselenggarakan dengan memperhatikan dan menghormati keanekaragaman sosial budaya yang hidup di seluruh wilayah negara Indonesia.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah adanya kesamaan kesempatan dan perlakuan dalam penyelenggaraan perfilman bagi setiap warga negara Indonesia.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa perfilman membawa maslahat bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa perfilman harus diselenggarakan sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan-undangan.

Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa perfilman diselenggarakan dengan semangat maju bersama.

Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah bahwa perfilman diselenggarakan berdasarkan kerja sama yang saling menguntungkan, menguatkan, dan mendukung.

Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kebajikan” adalah bahwa perfilman harus mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan keberuntungan.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan “menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa” adalah bahwa kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam kegiatan perfilman harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dilarang mengandung isi yang mendorong khalayak melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya” adalah bahwa isi film dilarang mempertontonkan perilaku yang dapat menyebabkan khalayak umum tergerak untuk meniru tindakan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “menonjolkan pornografi” adalah bahwa isi film mempertontonkan kecabulan, atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “memprovokasi” adalah bahwa film berisi hasutan yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal dan pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama” adalah bahwa isi film berisi penistaan, pelecehan, penghinaan, dan penodaan ajaran agama.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sumber daya dalam negeri” meliputi insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk, jasa, peralatan, fasilitas, dan kekayaan budaya bangsa yang tersedia di Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “integrasi vertikal” adalah penguasaan sumber penerimaan pasokan film dan/atau pemberian pasokan film kepada pihak lain dari hulu sampai hilir yang terdiri atas dua jenis usaha atau lebih.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Yang dimaksud dengan “film cerita” adalah semua film yang mengandung cerita, termasuk film eksperimental dan film animasi.
Yang dimaksud dengan “film noncerita” adalah semua film yang berisi penyampaian informasi, termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film ekperimental, film seni, film pendidikan, dan film dokumenter.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Yang dimaksud “perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur” adalah perlindungan terutama mengenai pemenuhan hak belajar dan hak bermain.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “iklan film” termasuk di dalamnya poster, stillphoto, slide, klise, thriller, banner, pamflet, brosur, baliho, spanduk, folder, plakat, dan sarana publikasi dan promosi lainnya.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut” tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu.

Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut” perhitungannya adalah sbb:
a. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki satu bioskop dengan satu layar, persentase dihitung terhadap penggunaan layar tersebut;
b. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki satu bioskop dengan layar lebih dari satu, persentase dihitung terhadap penjumlahan jam pertunjukan pada seluruh layar; dan
c. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki lebih dari satu bioskop, persentase dihitung terhadap penjumlahan seluruh bioskop dan seluruh layar.

Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut” melalui penyiaran televisi ialah persentase dihitung terhadap penggunaan jam pertunjukan untuk film pada satu lembaga penyiaran televisi.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup Jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Yang dimaksud dengan “memfasilitasi” adalah bahwa pemerintah memberikan dukungan dan kemudahan dalam pembuatan film, antara lain melalui ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk sentra film.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Yang dimaksud dengan “pajak daerah dan retribusi tertentu” adalah keringanan pajak dan bea masuk untuk ekspor film, impor bahan baku dan peralatan film, serta pajak dan retribusi daerah atas pertunjukan film.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip dialog” adalah mengundang pemilik film untuk memberi dan menerima penjelasan terkait dengan isi film yang sedang disensor.
Yang dimaksud dengan “pemilik film yang disensor” adalah pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan deplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membantu masyarakat” meliputi:
membantu pemilik film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan menerbitkan materi pendidikan untuk media dalam upaya membantu masyarakat mencerna pengaruh pertunjukan film dan iklan film.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan perfilman” adalah Pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman, serta masyarakat.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
“Berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam ketentuan ini bukan merupakan uji kepatutan dan kelayakan.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 65
Ayat (1)
Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah hanya digunakan untuk biaya operasional.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup Jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Huruf a
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara festival film di dalam negeri.

Huruf b
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya lembaga yang mengikuti festival film di luar negeri.

Huruf c
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan satu-satunya lembaga penyelenggara pekan film.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
“Fasilitas pendanaan pembuatan film tertentu” dalam ketentuan ini hanya diberikan terhadap film yang bermuatan pendidikan, budaya, patriotisme, dan sejarah perjuangan bangsa serta yang berpotensi meraih prestasi internasional.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas

SUMBER INFORMASI
»»  read more

Jadwal Film Festival 2009

Berikut daftar Festival Film yang akan berlangsung di Indonesia 2 bulan ke depan.

Enjoy the festival!
Lulu Ratna

---

Festival Film Internasional (bagian dari Festival Kesenian Indonesia)
Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki/TIM, 6-8 Oktober 2009, pukul 16.00 & 19.00
Pemutaran film pendek dari berbagai sekolah film dari seluruh dunia

Festival Film Mahasiswa Indonesia (bagian dari Festival Kesenian Indonesia)
Fak. Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta (TIM), 6-7 Oktober 2009, pukul 10.00-15.00
Pemutaran film pendek karya mahasiswa sekolah seni dari seluruh Indonesia, selain itu akan
ada Forum Film Mahasiswa tanggal 8 Oktober 2009 mulai pukul 9.00

Festival Film Animasi Indonesia
Yogyakarta (various places), 28 Oktober - 5 November 2009
Festival setiap 2 tahun memutar berbagai film animasi terbaru baik dari dalam dan luar Indonesia.

Europe On Screen
LIP Jogja, 30-31 Oktober 2009, pukul 16.00 & 19.00
CCF Bandung, 2-3 November 2009, pukul 14.00, 16.30 & 18.30 (+Cosplay Fashion Bola)
GoetheHaus, Erasmus Huis, Istituto Italiano
di Cultura, CCF Jakarta, 6-13 November 2009, pukul 15.00, 17.00 & 19.30 hari kerja & extra screening pukul 13.00 hari Sabtu & Minggu
CCCL Surabaya, 14-15 November 2009, pukul 18.00 & 20.00
Europe House Banda Aceh, 16-20 November 2009, pukul 19.00
Alliance Francais de Denpasar, 21-22 November 2009, pukul 16.00, 18.00 & 20.00
Universitas Diponegoro Semarang, 24-25 November 2009, pukul 13.00, 15.00 & 19.00
USU Medan, 25-26 November 2009, pukul 11.00, 13.30, & 15.30
Universitas Hasanudin Makassar, 28-29 November 2009, pukul 13.00, 15.00 & 17.00
Festival Film Eropa diikuti oleh 21 negara, 1 institusi dan 6 pusat kebudayaan Eropa, untuk di Jakarta juga akan ada Pameran Gambar Anak-anak mengenai Eropa (juga di Banda Aceh), Pameran "10 Tahun Reformasi Polandia yang mengubah Eropa", Filmmaking Workshop & Kuliah Umum Indonesian Contemporary Cinema.

INAFFF
Blitzmegaplex, 13-20 November 2009
Festival film horror, anime, fantastic film

Konfiden Short Film Festival
Taman Ismail Marzuki, 14-21 November 2009
Festival film pendek dengan kompetisi untuk kategori
dokumenter &
fiksi terbaik.

SUMBER INFO
»»  read more

SEJARAH TENTANG FILM dan TV

1.Penemu Scotlandia, John Logie Baird memberi demonstrasi pertama dari televisi pada tahun 1926 di Soho, London. Sepuluh tahun kemudian telah ada hanya seratus tv set di dunia.

2.Saat ini ada hampir satu miliar tv set di dunia.

3.China memiliki tv set paling banyak(dua ratus juta).

4.Di Amerika Serikat ada lebih banyak televisi daripada telepon.

5.Interview TV pertama kali dilakukan oleh aktris Irlandia, Peggy O'Neil pada April 1930.

6.Siaran harian pertama dilakukan oleh BBC pada November 1930.

7.Even olahraga pertama kali yang ditelevisikan adalah permainan baseball SD Jepang, disiarkan pada September 1947.

8.Nama tengah dari Kapten James T. Kirk dalam Star Trek adalah Tibertus.

9.Teater Film terpanjang di dunia , Radio City Music Hall di New York, dibuka dengan hampir enam ribu tempat duduk orang.

10.Film terpanjang di dunia menurut RekorDunia Guiness adalah The Cure for Insomnia, disutradarai oleh John Henry Timmis IV. Dirilis pada tahun 1987, panjangnya 5220 menit (87 jam).

11.Film animasi pertama adalah Humorous Phases of Funny Faces, dibuat tahun 1906 oleh orang Amerika J. Stuart Blacton.

12.Pada tahun 1919, 18 tahun, Walt Disney bertim dengan Ub Iwerks memproduksi kartun seri yang berjudul Alice in Cartoonland.

13.Perusahaan Walt Disney didirikan pada tahun 1923, dan pada 1927 Walt datang dengan ide untuk tikus animasi yang bernama Mortimer Mouse. Istrinya meyakinkannya untuk mengubahnya menjadi Mickey Mouse.

14.Pada tahun 1937 Disney memenagkan Oscar istimewa untuk film animasi panjang pertama: Snow White and the Seven Dwarfs.

15.Bill Hanna dan Joe Barbera membuat Tom and Jerry pada tahun 1939.

16.Film Terbaik Oscar pertama untuk animasi dianugerahkan kepada Beauty and the Beast-nya Disney, tahun 1991.

17.Mel Blanc, pengisi suara Bugs Bunny alergi wortel.

18.Jack Mercer mengisi suara Popeye the Silor selama 45 tahun.

19.Alat perekam video ditemukan oleh perusahaan Ampex di California pada tahun 1956. perekam video pertama tingginya 1,1 meter(3 kaki 3 inchi) dan beratnya sebesar mobil kecil:665 kg(1466 lb).

20.Perusahaan Jepang, JVC memperkenalkan sistem VHS pada tahun 1976.

21.Kira-kira 80% VCR dibuat oleh perusahaan – perusahaan Jepang.

22.Video pop pertama adalah Bohemian Rhapsody oleh Queen, derilis pada tahun 1975.

23.Kira – kira seperempat video film yang terjual adalah animasi.

24.Ciuman terlama dalam film adalah dalam Andy Warhol' Kiss. Rufus Collins dan Naomi Levine berciuman untuk keseluruhan 50 menit dalam film.


SUMBER INFO

»»  read more

Film Nyi Rambut Kasih Disoal

MAJALENGKA - Rencana pemutaran film legenda Nyi Rambut Kasih dipertanyakan kalangan seniman. Salahsatunya Arthur S Nalan, seorang seniman, budayawan, dan akademisi seni. Pria kelahiran Majalengka yang kini tinggal di Bandung itu mengakui bahwa sebagai anak Pakusarakan, Majalengka, merasa perlu menyampaikan kritikan dengan diperoduksinya film Nyi Rambut Kasih yang sudah berjalan dan sedang dilakukan editing.
Diungkapkan, bermula bertemu dengan kolega (sesama dosen di STSI Bandung) yang memang sering mendapat job sebagai pembuat film dan editor film. Dituturkan, koleganya itu sengaja menunggu dirinya datang setelah bertemu kemudian mengemukakan sejumlah pertanyaan tentang Nyi Rambut Kasih.
Ia bercerita sedang melakukan editing film Nyi Rambut Kasih, tetapi dia sendiri bingung karena film itu ”acakadut”. Terutama dengan mencampuradukkan antara sejarah-babad dan tafsir pribadi. ”Dari obrolan itu saya menarik kesimpulan, bahwa pembuat film ini telah melakukan anakronisme terhadap Nyi Rambut Kasih,” jelas Arthur kepada Radar, kemarin (14/10).
Menurut dia, kritikan itu bukan merupakan gugatan terhadap ”rezeki dan kesempatan” orang yang dipercaya ”orang-orang penting” di Majalengka. Tetapi ketika sebuah kisah buhun yang sudah turun temurun sebagai folklor Majalengka, dibuat ”acakadut” tentu drinya tidak ridho. Sebab, kalau film itu akhirnya dapat selesai dan disaksikan orang Majalengka, apalagi misalnya ditayangkan di televisi, orang Majalengka akan malu dan dianggap bodoh.
Untuk itu, sambung dia, sebelum telanjur mengajak semua orang Majalengka, termasuk ”orang-orang penting” Majalengka menyikapi, mewaspadai munculnya orang-orang yang melakukan petualangan kerjasama mengatasnamakan seniman film yang hasilnya mengacakadutkan sebuah kisah teladan dari satu daerah seperti Nyi Rambut Kasih.
Saat dikonfirmasi, Pimpinan Produksi Film Nyi Rambut Kasih, Ir Dede Mulyana mengakui kalau proses pembuatan film itu sudah dalam tahap editing. Menurutnya, proses pembuatan film itu sebelumnya dilakukan dengan hati-hati berdasarkan berbagai referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pria yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Majalengka itu mengakui, di akhir cerita filmnya tidak sesuai dengan cerita sesungguhnya. Menurut dia, dalam pembuatan film itu tidak mesti seluruhnya selalu benar, sebab disesuaikan dengan kepentingan bisnis juga.
Dikatakan, sudah ada stasiun TV yang akan menayangkan film porno berdurasi sekitar 1,5 jam itu. ”Kami tidak masalah bila ada yang mengritisi cerita film porno itu. Hal itu menunjukkan masih ada yang peduli dengan sejarah Kabupaten Majalengka,” tutur Dede Kalem.

»»  read more

Sejarah Yaiku Community

Yaiku Community adalah Komunitas Filmmaker di Cirebon serta wadah bagi para sineas untuk share dan berkomunikasi tentang film. Yaiku berdiri pada tahun 2005 didirikan oleh 8 orang sineas, Ketua komunitas pertama Adalah Elsa dudi Nurhalim. dengan tujuan dan komitmen yang sama Yaiku Berbentuk sebuah komunitas independent untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya agar dapat turut serta memajukan Perfilman di Indonesia dan lokal daerah khususnya, serta dapat menjadi sarana bagi para muda mudi di Wilayah Cirebon yang ingin belajar bagaimana cara pembuatan film. banyak karya karya Yaiku Community yang sudah menyebar di berbagai penjuru Indonesia bahkan Hingga Eropa, semua berkat bantuan Boemboe Forum distributor Film Independent di Indonesia. Yaiku community terus berusaha Eksis di dunia film Independent dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengikuti Festival Festival Film Nasional maupun Internasional.

Kini Yaiku Berusaha mempertahankan lebih eksistensinya di dunia Film dengan cara mendirikan Forum Komunikasi Film yang merupakan sarana berkumpulnya para sineas yang ada di Facebook, Forum juga sering mengadakan pemutaran pemautaran Film Independent rutin di Gedung Kesenian Cirebon GRATIS, Forum ini bekerja sama dengan Dewan Kesenian Cirebon.
»»  read more

Tentang Film Pendek Indonesia

Film pendek sebagai sebuah “gerakan” telah lama dimulai semenjak tahun 70an. Mahasiswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta? Jurusan sinematografi sendiri dibuka tahun 1971) yang kini dikenal sebagai IKJ (Institut Kesenian Jakarta) membuat apa yang mereka sebut sebagai Sinema 8, sebuah grup yang menggunakan kamera 8mm untuk membuat karya “film mini” tepat setelah Festival Film Mini tahun 1973 di Jakarta.

Sebagai sebuah gerakan “baru” yang me”nasional” pada saat itu, Sinema 8 hadir sebagai sebuah manifesto anak muda pada jamannya untuk bekarya secara bebas dan mandiri (dengan peralatan seadanya). Pada jaman itu, kamera 8mm adalah medium yang paling dekat dekat masyarakat (home use), tentu pada kelas masyarakat menengah keatas.

Wacana perlawanan terhadap kemapanan industri pun telah lahir bersamaan dengan lahirnya “gerakan baru” ini. Sesuatu hal yang sampai saat ini masih kita perdebatkan; apakah benar ada apa yang disebut sebagai “industri film” di Indonesia? Pada saat itu, semangat perlawanan yang diberikan oleh kelompok muda ini mengacu pada persoalan kuasa ruang karya (dan berkarya) yang juga tampaknya masih menjadi persoalan utama di Indonesia pada saat ini.

Keresahan para pelakunya atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salahsatu isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui film-film “Gelora Pembangunan” pada era pemerintahan Sukarno. Film-film tersebut diputarkan di kampung-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan Suharto yang memiliki program pemutaran film melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan film-film (yang kebanyakan film pendek) propaganda pemerintah dengan ideologi pembangunannya.

Pada masa-masa inilah lahir dengan subur karya-karya film eksperimental. Nama-nama seperti Gotot Prakorasa, Henri Darmawan, Hadi Purnomo, muncul sebagai penggerak dikalangannya. Juga keterlibatan seniman seperti Sardono W. Kusumo dari seni tari menambah khasanah film eksperimental pada saat itu dengan kolaborasi personalnya menggunakan medium 8mm. Sebelumnya nama D.A. Peransi juga telah dikenal lebih dulu sebagai seseorang yang aktif mengenalkan pendekatan baru dalam pembuatan film dokumenter di Indonesia.

Pada tahun 1982 muncullah Forum Film Pendek yang digagas setelah kepulangan delegasi Indonesia, Gotot Prakorsa, dari festival di Oberhausen. Forum ini mencoba untuk meneruskan gagasan Sinema 8 sebagai sebuah gerakan film di Indonesia. Pada tahun itu tercatat bahwa teknologi video mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 1985 melalui acara Pekan Sinema Alternatif yang diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki 12-16 November 1985, disebutkan sebagai salahsatu program acara adalah Pameran Sinema Elektronik. Pameran sinema elektronik adalah sebuah respon atas fenomena baru teknologi video yang masuk ke Indonesia.

Video adalah fenomena baru saat itu. Namun seperti halnya 8mm, penggunaan medium video masih pada seputar kalangan masyarakat menengah keatas. Perguliran wacana video art sebagai sesuatu yang baru di Indonesia mendapatkan respon yang baik namun masih pada sebatas sebuah respon atas teknologi yang sophisticated. Dalam program pameran sinema elektronik pada pekan sinema alternatif tersebut diputarkan beberapa karya video art dari Jerman dan Amerika Serikat.

Pada acara tersebut juga diselenggarakan acara diskusi mengenai sinema alternatif, dimana kisaran pedebatan yang dipersoalkan adalah mengenai definisi dari alternatif itu sendiri mengacu pada konteks jaman itu, hegemoni pembuat film senior yang telah lebih dulu berada di industri film(?) Indonesia.

Cakupan wilayah wacana ini berputar pada kota-kota besar di Indonesia tetap dengan sentrum di Jakarta. IKJ bisa dibilang sebagai penggerak utama dari perjalanan wacana ini. Masyarakat Indonesia sedikit-banyak telah akrab dengan medium seluloid (8, 16, dan 32 mm) dan video (analog), namun penggunaannya sebagai media seni berputar pada kelas eksklusif; menengah atas.

INSERT

Sampai dengan tahun 1988, saluran TV Indonesia hanya berisikan 1 channel yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI), merupakan saluran TV pemerintah yang hampir kesemuanya berisikan berita atau program propaganda pemerintah yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Pada tahun 1989, untuk pertamakalinya saluran TV swasta dibuka untuk publik, yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Sejak saat itu muncul staisun-stasiun TV lainnya, hingga saat ini berjumlah 9 buah saluran TV swasta dengan skala pancar nasional serta beberapa stasiun TV lokal.

Program-program tayangan televisi swasta membawa banyak perubahan pada kultur visual masyarakat Indonesia. Program Sinema Elektronik (Sinetron), merupakan program unggulan dari semua stasiun TV swasta yang ada. Sinetron ada drama televisi yang banyak diadaptasi dari drama televisi Amerika Latin dan India, dengan gaya penceritaan yang verbal dan stereotip cerita mengenai si kaya dengan si miskin - si jahat dengan si baik.

Pada pemerintahan Suharto, kekuatan ekonomi serta politik dipusatkan di Jakarta (hingga saat ini). Distribusi informasi serta teknologi (serta komponen lainnya) tidak hadir secara merata di Indonesia. Bioskop boleh dibilang hanya dihadiri oleh kalangan masyarakat yang mampu. Pun wacana film pendek, sinema alternatif, atau video art kemudian hanya berputar pada lingkaran kecil dan terbatas. Dia tidak pernah benar-benar meng-Indonesia. Film secara keseluruhan atau film eksperimental dan video art secara spesifik direspon dan digagas oleh kalangan terbatas ini. Nama Krisna Murti sebagai salahsatu pionir video art di Indonesia yang sampai saat ini masih aktif berkarya dengan video adalah satu peninggalan dari sejarah tersebut.

Pemerintahan yang militeristik dan sentralistik ini secara langsung berakibat pada pola pendidikan satu arah. Semua dalam kendali pemerintah yang salahsatunya dilakukan oleh Departemen Penerangan mengontrol arus informasi yang terjadi dimasyarakat. Pada saat yang bersamaan, bentuk kolonialisasi baru terjadi diseluruh dunia. Indonesia sebagai apa yang kita sebut sebagai “dunia ketiga”, mengalami krisis identitas baru. Sebagai Negara yang memiliki potensi menjadi blok komunis (terutama setelah krisis politik 1965), pemerintahan Suharto mendapat dukungan penuh dari USA. Salahsatu bentuk program yang diaplikasikan ke masyarakat adalah program brainwashed melalui pemutaran film dari desa ke desa. Film-film yang diputar adalah film-film dengan tema pembangunan. Penggambaran epos kepahlawanan tokoh pembangunan (ekonomi), masuk ke desa, mengajarkan masyarakat lokal (dan tertinggal), modernisasi, dan doktrinasi pemahaman mengenai “barat” sebagai kawan yang baik. film pembangunan, adalah sebutan bagi jenis film tersebut.

Pada tahun 1995, krisis politik dan ekonomi mulai terlihat gejalanya di Indonesia dan memuncak pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi terjadi hampir diseluruh asia tenggara. Krisis ekonomi yang kemudian berlanjut pada krisis politik ini menyebabkan sebuah jurang sejarah. Represi yang dilakukan oleh pemerintahan Suharto membawa dampak yang dahsyat pada perubahan struktur sosial di masyarakat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, gerakan politik kaum muda mulai meletup diberbagai daerah di Indonesia. Wilayah seni secara keseluruhan terfokus pada persoalan krisis politik dan ekonomi yang terjadi.

Pada rentang tahun 1995-97, represi yang dilakukan pemerintahan Suharto terjadi diberbagai lini masyarakat Indonesia, tidak terkecuali seni. Pembredelan media massa yang dianggap melawan pemerintah, kelompok masyarakat yang dianggap radikal, ataupun kesenian yang dianggap subversif. Tekanan ini menyebabkan sebuah keterputusan sejarah, membuat generasi baru yang disebut sebagai generasi yang hilang (dari sejarah). Tahun 1998, Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden R.I. atas tekanan kelompok mahasiswa dan elit politik yang melakukan manuver melawan rezim Suharto. Era yang kita kenal sebagai era reformasi Indonesia.

Hal ini memunculkan euforia kebebasan berekspresi masyarakat, media-media yang tadinya dibungkam karena dianggap subversif kembali dilahirkan dan bentuk-bentuk kesenian yang tadinya dilarang, kini mulai ditampilkan kembali. Dan disaat bersamaan, diseluruh dunia mengalami sebuah euforia baru; revolusi teknologi informasi dan digital.

Indonesia mulai mengenal internet dalam skala yang kecil pada awal tahun 1990 dan terus berkembang secara signifikan penggunaannya. Revolusi komunikasi ini membawa satu perubahan besar dimasyarakat. Informasi-informasi yang tadinya tersembunyi, kini muncul kepermukaan dan relatif mudah diakses. Arus pertukaran informasi semakin cepat dan membentuk satu jaringan komunikasi yang kuat.

Pada tahun 1998, sekelompok sutradara muda membuat sebuah manifestasi Sinema Independen dengan memproduksi sebuah film berjudul Kuldesak, yang diproduksi dan diedarkan secara mandiri. Tahun 1999 sekelompok anak muda di Jakarta membuat sebuah festival yang bernama Festival Film Video Independen Indonesia (FFVII) dalam skala nasional. Setelahnya mereka membentuk Yayasan Konfiden (www.konfiden.or.id) yang melanjutkan festival mereka pada tahun 2000, 2001, dan 2002. Terhenti untuk 3 tahun (2003-2005), pada tahun 2006 mereka melanjutkan kembali festival tersebut dengan nama Festival Film Pendek Konfiden.

Wacana ini merebak keberbagai kota di Indonesia, setidaknya di pulau Jawa. Arus komunikasi yang semakin lancar melalui jaringan internet semakin mempermudah penyebarluasannya. Mailing list menjadi portal pertukaran informasi utama. Apa yang dilakukan Konfiden dengan festivalnya juga terjadi di kota – kota seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Purwokerto, dan kota lainnya. Berbagai acara film baik dalam skala lokal maupun nasional mulai bermunculan.

Pada momen itu muncul idiom baru; “membuat film itu mudah”, sebagai sebuah wacana tawaran bagi kaum muda untuk membuka kembali ruang kreatifnya. Hal ini didukung oleh masuknya teknologi video digital yang merubah banyak hal. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sampai dengan pertengahan 90an, teknologi video analog adalah format umum yang dipakai. Teknologi analog relatif lebih mahal dibanding digital video yang tidak mensyaratkan peralatan yang rumit atau skill pengetahuan khusus untuk mempelajarinya dan menggunakannya. Disaat yang bersamaan, teknologi komputer rakitan dan piranti lunak bajakan merajai pasar teknologi di Indonesia. Amat mudah untuk mendapatkan piranti lunak semacam Adobe Premiere seharga 25 ribu Rupiah.

Sampai saat ini, PC adalah jenis komputer yang paling umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Diduga, 80% komputer yang ada dipasaran adalah hasil rakitan sendiri dengan 100% piranti lunak bajakan. Perkembangan teknologi digital video yang bersandingan langsung dengan perkembangan teknologi komputer rakitan dengan piranti lunak bajakan merupakan satu momen penting dalam wacana film & video di Indonesia. Pada faktanya, dukungan teknologi inilah yang memberikan kesempatan luas pada para penggiat film, khususnya dari kalangan anak muda, untuk mempelajari secara intens teknis serta artistik pembuatan karya film dengan medium video.

Komputer rakitan semakin hari semakin relatif terjangkau harganya. Begitupula dengan kamera handycam dalam bentuk yang paling sederhana. Komponen-komponen inilah yang mendukung satu perubahan baru dalam konteks film dan video di Indonesia. Banyak workshop film dilakukan diberbagai kota di Indonesia dengan partisipan mayoritas berasal dari anak muda (setingkat SMP sampai dengan kuliah). Kine klub diberbagai universitas kembali diaktifkan, juga menjamurnya komunitas-komunitas film yang kebanyakan digerakkan oleh mahasiswa.

Tahun 1999 sampai dengan 2004 boleh dibilang sebagai tahun keemasan bagi film pendek Indonesia. Tumbuh kembangnya berbagai komunitas film serta kine klub turut menyumbangkan gairah wacana film pendek atau film Indonesia secara keseluruhan. Terlebih ketika sebuah stasiun TV swasta, Surya Cipta Televisi (SCTV) pada tahun 2003 mengadakan Festival Film Independen Indonesia (FFII). Dengan kekuatannya sebagai sebuah media massa yang massif, SCTV berhasil menjaring karya sebanyak 1047 karya untuk megikuti FFII 2003. Hal ini pula yang turut memancing semakin banyak munculnya komunitas-komunitas film di Indonesia secara signifikan.

INSERT

Festival yang diadakan oleh SCTV kemudian juga diikuti oleh beberapa stasiun tv Indonesia lainnya; Global TV (tahun 2005) dan MetroTV (kompetisi film dokumenter bernama Eagle Award. Dimulai pada tahun 2005 hingga saat ini).

SCTV hanya dua kali mengadakan FFII, sampai dengan tahun 2004 dengan alasan sedikitnya sponsor yang mendukung festival tersebut. Namun dampak dari festival tersebut masih cukup terasa hingga kini. Televisi swasta dengan kepentingan dagangnya memanfaatkan momen yang mereka anggap potensial untuk dijadikan pasar baru dengan segmen utama anak muda. Seperti halnya yang terjadi pada konteks “industri film baru” di Indonesia. Sejak tahun 1999, mulai bermunculan film-film Indonesia di bioskop. Film Indonesia menemukan kembali pasarnya komunitas film serta kine klub yang mayoritas digerakkan oleh kaum muda adalah pasar yang potensial. Secara signifikan, film-film Indonesia yang diproduksi dari tahun 2000 hingga kini berkisar pada tema-tema cerita anak muda baik dalam bentuk drama, komedi, ataupun horror.

INSERT

Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya ruangrupa (www.ruangrupa.org) mengadakan festival video yang diberi nama OK. Video: Jakarta International Video Art Festival (kini menjadi OK. Video: Jakarta International Video Festival) dengan menawarkan wacana “baru”; karya visual melalui medium video. Sebuah respon atas fenomena penggunaan medium video yang semakin massif di masyarakat Indonesia. Ini adalah festival video 2 tahunan. Tahun 2005, ruangrupa menyelenggarakan OK. Video untuk kedua kalinya dengan tema SUB/VERSION, sebuah tanggapan atas fenomena pembajakan yang terjadi di Indonesia serta persoalan copyright secara luas. Festival ini mendapatkan respon yang cukup luar biasa, baik dari masyarakat Indonesia maupun internasional dan menjadi salahsatu festival penting di Indonesia.

Tahun 2005 adalah tahun klimaks dari pergerakan ini. Semuanya tampak kembali ketitik awal kembali. Ada persoalan mendasar yang dihadapi oleh para penggiat film pendek/alternatif di Indonesia; ketiadaan atau minimnya ruang distribusi serta apresiasi bagi karya-karya mereka. Semenjak awal munculnya wacana ini hinga sekarang, pemutaran film dan distribusi karya dilakukan secara sporadis. Ruang-ruang pemutaran yang biasa digunakan adalah ruang yang bukan khusus digunakan bagi kegiatan tersebut seperti toko buku, ruang pertemuan, dan semacamnya. Distribusi juga dilakukan secara sporadis dengan metode hand by hand.

Situasi ini membuat segalanya seperti berjalan ditempat. Minimnya ruang apresiasi serta kritik juga mengakibatkan pengembangan wacana ini tersendat atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Para penggiat dihadapkan pada pilihan realistis yang harus mereka pilih; terus intens berkarya, atau menjadikannya sekedar hobi semasa sekolah atau kuliah. Membuat film pendek (atau menjadi seniman video) tampaknya memang belum bisa dijadikan sebuah pilihan karir yang mensyaratkan sebuah intensitas.

INSERT

Pada tahun 2002, proyek database komunitas film Indonesia dimulai. Metode pengumpulan data dilakukan secara sederhana, melalui penyebaran informasi mengenai proyek disertai formulir pendaftaran komunitas. Terkumpul 72 komunitas/lembaga yang memiliki program film baik produksi, distribusi, atau apresiasi dari beberapa kota di Indonesia. Data ini kemudian disusun dan diterbitkan dalam bentuk buku saku pada tahun 2003. Proyek ini terus berlanjut hingga saat ini dalam format yang berbeda.

Dari 72 komunitas/lembaga yang dikonfirmasi ulang mengenai validitas datanya, hanya 10 yang memberikan verifikasi. Kesepuluh data tersebut kemudian ditampilkan dalam sebuah weblog http://datakomunitas.wordpress.com. Sejak pemunculan weblog pada tahun 2005, profil/data komunitas dan lembaga tersebut berjumlah 41 komunitas/lembaga. Metode pengempulan data tidak jauh berbeda dengan pertama kali dilakukan, melalui jaringan mailing list film di Indonesia, maupun secara aktif melalui acara-acara film.

Tujuan dari proyek ini adalah membuat data jaringan komunitas/lembaga yang memiliki program film dan video di Indonesia sebagai sebuah akses terbuka bagi publik yang memiliki kebutuhan langsung maupun tidak dengan jaringan ini dan sebagai portal pertukaran informasi. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan lihat di: http://datakomunitas.wordpress.com.

II. Permasalahan

Dari jabaran diatas, satu benang merah yang harus menjadi catatan utama adalah persoalan tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam mengembangkan perfilman Indonesia, baik ditingkat industri maupun komunitas film. Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi hingga saat ini adalah ketika keran impor film Hollywood yang berlanjut pada monopoli sistem distribusi mempersempit ruang pengembangan film Indonesia. Namun persoalan persoalan tidak hanya sampai disitu.

Kebijakan budaya yang berkelanjutan pun tak tampak sama sekali hingga hari ini. Bagaimana penyediaan fasilitas infra serta suprastruktur tidak pernah menjadi perhatian utama dalam konteks ini. Tidak ada fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penggiat film di Indonesia, bahkan sampai ditingkat birokrasi sekalipun. Apalagi soal pendidikan yang berkelanjutan.

Pendidikan film masih terpusat dan penyebaran informasi tidak pernah benar-benar merata. Persoalan ini langsung menyentuh pada konteks komunitas film di Indonesia, sebagai salahsatu penggiat aktif di perfilman Indonesia. kemudian apa sesungguhnya peran komunitas film dalam konteks ini?

Semangat perubahan jaman yang dibawa oleh angin reformasi di Indonesia membuka sebuah ruang baru untuk membentuk kelompok-kelompok inisiasi dalam berbagai bentuk, dan salah satunya adalah komunitas film. Disaat yang bersamaan, angin perubahan dalam perfilman Indonesia berhembus dan secara signifikan membesar menjadi sebuah gairah baru yang secara kasar kita dapat lihat melalui pertumbuhan jumlah produksi film Indonesia. Kemudian apa peran komunitas film dalam konstelasi besar perfilman Indonesia? Sesungguhnya pertanyaan ini tidaklah sulit untuk dijawab. Semenjak kehadirannya yang tumbuh-kembang dengan pesat, komunitas film yang tersebar diberbagai kota di Indonesia mengambil peran yang sungguh penting; menggulirkan wacana film langsung kepada masyarakat melalui berbagai kegiatannya baik dalam tingkatan filosofis maupun praksisnya.

Posisi serta peran komunitas film bukan sebagai perpanjangan tangan dari industri belaka. Komunitas film bergerak aktif dan dinamis ditengah-tengah masyarakat dengan mengantarkan wacana film yang dikemas melalui program pemutaran, pendidikan, apresiasi, serta kritik, dimana semua kegiatan tersebut amat vital sifatnya dalam pengembangan perfilman di Indonesia itu sendiri. Berbagai kegiatan seputar film yang dilakukan oleh komunitas film secara langsung maupun tidak membuka ruang kesadaran baru di masyarakat akan perubahan itu sendiri. Harus disadari bahwa komunitas film berperan secara signifikan dalam membentuk masyarakat penonton (baru) film Indonesia.

Bila kita ingin melihatnya secara detail, pembentukkan masyarakat penonton (baru) film Indonesia yang dilakukan oleh komunitas film antara lain sebagai berikut;

Pertama, komunitas film sebagai jembatan informasi. Selaku “agen informasi” perfilman Indonesia, komunitas film memberikan kontribusi riil melalui kegiatan pemutaran serta apresiasi film. Ketika akses informasi yang tersendat oleh sistem di Indonesia yang masih sentralistik, komunitas secara aktif mengambil alih peran “agen informasi” dan mengantarkannya langsung kepada masyarakat. Membuka pintu-pintu informasi melalui kegiatannya.

Pemutaran serta apresiasi film yang dilakukan secara baik secara rutin maupun sporadik, masif diadakan diberbagai kota dan umumnya terbuka untuk publik (pun bila ditarik bayaran takkan semahal harga tiket bioskop) disertai oleh diskusi-diskusi terbuka seputar wacana film dan perfilman Indonesia. Belum lagi pemutaran-pemutaran yang dilakukan dalam skala festival berkala dimana jelas melibatkan publik (baik sebagai penonton maupun partisipan aktif) dalam kuantitas yang signifikan. Banyak komunitas yang menerbitkan bulletin, jurnal, dan semacamnya dalam bentuk fotokopian sebagai usaha penyebaran wacana ketengah masyarakat sebagai bagian program kegiatan mereka. .Disini kita dapat melihat secara jelas kontribusi komunitas dalam mewacanakan film serta perfilman Indonesia.

Kedua, komunitas film sebagai agen transformasi pendidikan. Sebagai kelanjutan dari konteks poin pertama, komunitas film melakukan proses transformasi pendidikan yang secara mendasar dimulai dari penyebaran informasi yang dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan baik dalam konteks teknis-produksi maupun studi. Kegiatan-kegiatan workshop yang dilakukan mulai untuk siswa SMU sampai dengan umum, secara mandiri diadakan oleh banyak komunitas.

Ketiga, komunitas film sebagai jejaring distribusi. Dalam berbagai kegiatannya, komunitas-komunitas tersebut juga melakukan kegiatan distribusi. Pemutaran, apresiasi, kritik, serta workshop yang mereka lakukan secara otomatis membawa satu tindakan distribusi yang baik disadari secara langsung maupun tidak. Banyak pula komunitas yang secara sadar menempatkan diri mereka sebagai kelompok distribusi dalam pengertian paling sederhana adalah menyalurkan karya baik dari lokalnya atau pun dari luar.

Dari ketiga poin tersebut sudah cukup kiranya bagi kita untuk melihat pentingnya peran komunitas film. Wilayah kerja yang amat luas dan berat itu tampaknya harus ditanggung oleh mereka sendiri tanpa mendapatkan dukungan maupun perlindungan berarti terhadap mereka. Sampai saat ini bukan cerita yang aneh ketika banyak komunitas harus bersusah payah mengadakan serta mengembangkan kegiatan mereka karena segala sesuatunya harus dilakukan secara mandiri. Komunitas film mayoritas dijalankan oleh anak muda setingkat SMU sampai mahasiswa berhadapan langsung dengan persoalan daya tahan untuk keberlangsungan komunitas mereka tanpa sokongan dari pihak mana pun.

Hal ini menyebabkan sustainability komunitas film amat lemah. Sangat jarang sebuah komunitas dapat terus bertahan, dan fakta memperlihatkan bagaimana banyak komunitas tumbuh sesaat dan kemudian menghilang. Beban berat yang harus mereka tanggung sendiri adalah persoalan mendasar yang harus segera diatasi dan ini membutuhkan sebuah kerja kolektif.

Referensi:

  1. Gotot Prakosa, Kamera Subyektif: Rekaman Perjalanan dari Sinema Jemuran ke Art Cinema. Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta and Yayasan Seni Visual Indonesia, 2006.
  2. Katinka van Heeren. Paper read in the conference Shared History/Decolonizing the Image, June 3, 2006.
  3. Seno Gumira Ajidarma. Bangkit - Tak Bangkit Sinema Indonesia: Sinema Gerilya, Pendidikan Semesta, dan Filmologi.
  4. Victor S. Mambor. Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia
  5. Various sources.
Bersumber dari Film Alternatif
»»  read more